Kota - kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar kota-kota lain di dunia, namum disisi lain kota harus mampu mengedepankan kekhasan lokal, baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami.
Pendekatan perancangan pada kota-kota di Indonesia cenderung meniru negara-negara lain yang sudah lebih maju dari perekonomian di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya lebih cenderung merencanakan pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan pemukiman eksklusif, pembangunan bangunan-bangunan perkantoran, pusat perdagangan dan sarana-sarana rekreasi modern dan bertingkat tinggi, daripada merencanakan pembangunan rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbaikan/ penataan kawasan-kawasan kumuh, serta pengembangan kawasan-kawasan produk.
Padahal sebagian besar warga masyarakat masih berada pada tingkat marginal (batas kemiskinan), yang membutuhkan sarana dan prasarana untuk bermukim dan untuk bekerja/berusaha. Dan skala tingkatan tata rancang kota Indonesia yang baik masih jauh dari yang terbangun saat ini.
Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Perumahan di Indonesia Perumahan menyangkut secara langsung berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan cukup banyak yang bersifat lintas sektoral serta saling kait mengkait. Dalam kegiatan pembangunan perumahan terlibat berbagai instansi pemerintah, antara lain BPN, Bappeda, konsumen (masyarakat), developer, perancang dan arsitek, kontraktor, PLN, PDAM, Perum Telekomunikasi, perbankan, pemodal, pemilik tanah, dan industri bahan bangunan. Keterlibatan banyak pihak itu dapat menjadi potensi besar, tetapi dapat menjadi penghambat bila tidak ada kerja sama dan koordinasi yang baik.
Di antara banyak faktor yang terkait dalam kegiatan pembangunan kota, dapat dilihat faktor-faktor pokok yang merupakan variabel terwujudnya pembangunan dengan fluktuasi tertentu. Beberapa variabel itu antara lain sebagai berikut:
Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk yang tinggi merupakan masalah tersendiri dalam usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Tahun 1980 penduduk Indonesia tercatat 147.490.298 jiwa, pada tahun 1990 tercatat 179.321.641 jiwa, dan tahun 2000 diperkirakan sampai 200 juta jiwa lebih. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini menuntut pertambahan kebutuhan jumlah unit rumah yang tinggi pula
Faktor Pertanahan
Arus urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di kota-kota besar di negara berkembang seperti Indonesia, berakibat timbulnya masalah tanah. Diperkirakan pada tahun 2005 penduduk perkotaan di Indonesia akan meningkat menjadi 40% dari seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini tentu berakibat pada kepadatan penduduk di kota menjadi tinggi sehingga harga tanah semakin mahal dan biasanya akan diikuti masalah tata guna lahan apabila tidak segera diantisipasi.
Faktor Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat
Sejak pembangunan sampai sekarang masalah keterjangkauan harga rumah masih menjadi kendala, khususnya karena masih banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekalipun program Inpres Desa Tertinggal (IDT) digalakkan pada tahun 1994-1996, pengurangan penduduk yang miskin terhambat dengan terjadinya krisis ekonomi (1997) yang berkepanjangan di Indonesia, bahkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Pemerintah secara makro seharusnya mampu ikut memecahkan masalah keterjangkauan daya beli masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni. Beberapa usaha yang telah dilakukan adalah pembangunan perumnas dan rumah susun. Namun, tentu usaha dari masyarakat sendiri untuk dapat menjangkau harga rumah tetap diharapkan.
Faktor Teknologi dan Jasa Konstruksi Perkembangan teknologi dan jasa konstruksi belum dapat mendukung industri pembangunan perumahan dalam skala besar. Di Indonesia industri jasa konstruksi dan bahan bangunan terbagi dalam segmen modern dan segmen tradisional. Dalam pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke bawah masih digunakan segmen tradisional.
Faktor Kelembagaan
Perangkat kelembagaan berfungsi sebagai pemegang kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan, baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta, di tingkat pusat maupun daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan sistem yang terpadu. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya untuk koordinasi vertikal maupun horizontal. Dalam banyak hal pemerintah daerah leibh tahu tentang kondisi wilayah dan penduduknya daripada pemerintah pusat. Peran dan fungsi ini masih perlu dimantapkan dan dipersiapkan aparaturnya.
Faktor Peraturan Perundang-undangan
Dalam menunjang faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman. Namun, berbagai produk perundangan sering sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi. Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Perumahan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1964) menitikberatkan kebutuhan perumahan secara individual, tetapi GBHN mentikberatkan pada pembangunan perumahan secara fungsional. Masalah perizinan dalam proses pembangunan pembangunan perumahan masih memiliki mata rantai yang amat panjang, rumit, memakan waktu dan biaya. Mata rantai yang panjang ini sudah tidak layak terjadi era reformasi.
Sumber :
http://ocw.usu.ac.id
Pendekatan perancangan pada kota-kota di Indonesia cenderung meniru negara-negara lain yang sudah lebih maju dari perekonomian di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya lebih cenderung merencanakan pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan pemukiman eksklusif, pembangunan bangunan-bangunan perkantoran, pusat perdagangan dan sarana-sarana rekreasi modern dan bertingkat tinggi, daripada merencanakan pembangunan rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbaikan/ penataan kawasan-kawasan kumuh, serta pengembangan kawasan-kawasan produk.
Padahal sebagian besar warga masyarakat masih berada pada tingkat marginal (batas kemiskinan), yang membutuhkan sarana dan prasarana untuk bermukim dan untuk bekerja/berusaha. Dan skala tingkatan tata rancang kota Indonesia yang baik masih jauh dari yang terbangun saat ini.
Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Perumahan di Indonesia Perumahan menyangkut secara langsung berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan cukup banyak yang bersifat lintas sektoral serta saling kait mengkait. Dalam kegiatan pembangunan perumahan terlibat berbagai instansi pemerintah, antara lain BPN, Bappeda, konsumen (masyarakat), developer, perancang dan arsitek, kontraktor, PLN, PDAM, Perum Telekomunikasi, perbankan, pemodal, pemilik tanah, dan industri bahan bangunan. Keterlibatan banyak pihak itu dapat menjadi potensi besar, tetapi dapat menjadi penghambat bila tidak ada kerja sama dan koordinasi yang baik.
Di antara banyak faktor yang terkait dalam kegiatan pembangunan kota, dapat dilihat faktor-faktor pokok yang merupakan variabel terwujudnya pembangunan dengan fluktuasi tertentu. Beberapa variabel itu antara lain sebagai berikut:
Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk yang tinggi merupakan masalah tersendiri dalam usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Tahun 1980 penduduk Indonesia tercatat 147.490.298 jiwa, pada tahun 1990 tercatat 179.321.641 jiwa, dan tahun 2000 diperkirakan sampai 200 juta jiwa lebih. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini menuntut pertambahan kebutuhan jumlah unit rumah yang tinggi pula
Faktor Pertanahan
Arus urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di kota-kota besar di negara berkembang seperti Indonesia, berakibat timbulnya masalah tanah. Diperkirakan pada tahun 2005 penduduk perkotaan di Indonesia akan meningkat menjadi 40% dari seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini tentu berakibat pada kepadatan penduduk di kota menjadi tinggi sehingga harga tanah semakin mahal dan biasanya akan diikuti masalah tata guna lahan apabila tidak segera diantisipasi.
Faktor Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat
Sejak pembangunan sampai sekarang masalah keterjangkauan harga rumah masih menjadi kendala, khususnya karena masih banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekalipun program Inpres Desa Tertinggal (IDT) digalakkan pada tahun 1994-1996, pengurangan penduduk yang miskin terhambat dengan terjadinya krisis ekonomi (1997) yang berkepanjangan di Indonesia, bahkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Pemerintah secara makro seharusnya mampu ikut memecahkan masalah keterjangkauan daya beli masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni. Beberapa usaha yang telah dilakukan adalah pembangunan perumnas dan rumah susun. Namun, tentu usaha dari masyarakat sendiri untuk dapat menjangkau harga rumah tetap diharapkan.
Faktor Teknologi dan Jasa Konstruksi Perkembangan teknologi dan jasa konstruksi belum dapat mendukung industri pembangunan perumahan dalam skala besar. Di Indonesia industri jasa konstruksi dan bahan bangunan terbagi dalam segmen modern dan segmen tradisional. Dalam pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke bawah masih digunakan segmen tradisional.
Faktor Kelembagaan
Perangkat kelembagaan berfungsi sebagai pemegang kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan, baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta, di tingkat pusat maupun daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan sistem yang terpadu. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya untuk koordinasi vertikal maupun horizontal. Dalam banyak hal pemerintah daerah leibh tahu tentang kondisi wilayah dan penduduknya daripada pemerintah pusat. Peran dan fungsi ini masih perlu dimantapkan dan dipersiapkan aparaturnya.
Faktor Peraturan Perundang-undangan
Dalam menunjang faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman. Namun, berbagai produk perundangan sering sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi. Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Perumahan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1964) menitikberatkan kebutuhan perumahan secara individual, tetapi GBHN mentikberatkan pada pembangunan perumahan secara fungsional. Masalah perizinan dalam proses pembangunan pembangunan perumahan masih memiliki mata rantai yang amat panjang, rumit, memakan waktu dan biaya. Mata rantai yang panjang ini sudah tidak layak terjadi era reformasi.
Sumber :
http://ocw.usu.ac.id