Rabu, 19 Juni 2013

Tata Rancang Kota Indonesia

      Kota - kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar kota-kota lain di dunia, namum disisi lain kota harus mampu mengedepankan kekhasan lokal, baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami.

      Pendekatan perancangan pada kota-kota di Indonesia cenderung meniru negara-negara lain yang sudah lebih maju dari perekonomian di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya lebih cenderung merencanakan pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan pemukiman eksklusif, pembangunan bangunan-bangunan perkantoran, pusat perdagangan dan sarana-sarana rekreasi modern dan bertingkat tinggi, daripada merencanakan pembangunan rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbaikan/ penataan kawasan-kawasan kumuh, serta pengembangan kawasan-kawasan produk.

      Padahal sebagian besar warga masyarakat masih berada pada tingkat marginal (batas kemiskinan), yang membutuhkan sarana dan prasarana untuk bermukim dan untuk bekerja/berusaha. Dan skala tingkatan tata rancang kota Indonesia yang baik masih jauh dari yang terbangun saat ini.

Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Perumahan di Indonesia      Perumahan menyangkut secara langsung berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan cukup banyak yang bersifat lintas sektoral serta saling kait mengkait. Dalam kegiatan pembangunan perumahan terlibat berbagai instansi pemerintah, antara lain BPN, Bappeda, konsumen (masyarakat), developer, perancang dan arsitek, kontraktor, PLN, PDAM, Perum Telekomunikasi, perbankan, pemodal, pemilik tanah, dan industri bahan bangunan. Keterlibatan banyak pihak itu dapat menjadi potensi besar, tetapi dapat menjadi penghambat bila tidak ada kerja sama dan koordinasi yang baik.

      Di antara banyak faktor yang terkait dalam kegiatan pembangunan kota, dapat dilihat faktor-faktor pokok yang merupakan variabel terwujudnya pembangunan dengan fluktuasi tertentu. Beberapa variabel itu antara lain sebagai berikut:

Faktor Kependudukan         
     Perkembangan penduduk yang tinggi merupakan masalah tersendiri dalam usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Tahun 1980 penduduk Indonesia tercatat 147.490.298 jiwa, pada tahun 1990 tercatat 179.321.641 jiwa, dan tahun 2000 diperkirakan sampai 200 juta jiwa lebih. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini menuntut pertambahan kebutuhan jumlah unit rumah yang tinggi pula

Faktor Pertanahan
       Arus urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di kota-kota besar di negara berkembang seperti Indonesia, berakibat timbulnya masalah tanah. Diperkirakan pada tahun 2005 penduduk perkotaan di Indonesia akan meningkat menjadi 40% dari seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini tentu berakibat pada kepadatan penduduk di kota menjadi tinggi sehingga harga tanah semakin mahal dan biasanya akan diikuti masalah tata guna lahan apabila tidak segera diantisipasi. 

Faktor Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat
    Sejak pembangunan sampai sekarang masalah keterjangkauan harga rumah masih menjadi kendala, khususnya karena masih banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekalipun program Inpres Desa Tertinggal (IDT) digalakkan pada tahun 1994-1996, pengurangan penduduk yang miskin terhambat dengan terjadinya krisis ekonomi (1997) yang berkepanjangan di Indonesia, bahkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Pemerintah secara makro seharusnya mampu ikut memecahkan masalah keterjangkauan daya beli masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni. Beberapa usaha yang telah dilakukan adalah pembangunan perumnas dan rumah susun. Namun, tentu usaha dari masyarakat sendiri untuk dapat menjangkau harga rumah tetap diharapkan.   

Faktor Teknologi dan Jasa Konstruksi     Perkembangan teknologi dan jasa konstruksi belum dapat mendukung industri pembangunan perumahan dalam skala besar. Di Indonesia industri jasa konstruksi dan bahan bangunan terbagi dalam  segmen modern dan segmen tradisional. Dalam pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke bawah masih digunakan segmen tradisional.

Faktor Kelembagaan
     Perangkat kelembagaan berfungsi sebagai pemegang kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan, baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta, di tingkat pusat maupun daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan sistem yang terpadu. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya untuk koordinasi vertikal maupun horizontal. Dalam banyak hal pemerintah daerah leibh tahu tentang kondisi wilayah dan penduduknya daripada pemerintah pusat. Peran dan fungsi ini masih perlu dimantapkan dan dipersiapkan aparaturnya.

Faktor Peraturan Perundang-undangan
      Dalam menunjang faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan merupakan landasan hukum bagi kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman. Namun, berbagai produk perundangan sering sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi. Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Perumahan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1964) menitikberatkan kebutuhan perumahan secara individual, tetapi GBHN mentikberatkan pada pembangunan perumahan secara fungsional. Masalah perizinan dalam proses pembangunan pembangunan perumahan masih memiliki mata rantai yang amat panjang, rumit, memakan waktu dan biaya. Mata rantai yang panjang ini sudah tidak layak terjadi era reformasi.




Sumber :
http://ocw.usu.ac.id

http://perencanaankota.blogspot.com/


Isu – isu Permukiman Berkembang dan Permukiman Maju



Menurut Kirmanto (2002), isu – isu perkembangan permukiman yang ada pada saat ini adalah

  1. Perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha
  2. Konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman
  3. Alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang yang berkembang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan.
  4. Terjadi terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam
  5. Komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan.

       Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah.

        Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman 2005).

Isu – isu Permukiman Berkembang
     Masalah yang kompleks pada permukiman berkembang akan berimplikasi menjadi daya tarik untuk terciptanya aktivitas ekonomi yang lebih besar yang berpotensi menyerap tenaga kerja yang lebih besar dan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya seperti kebutuhan akan perumahan, berkembangnya sektor jasa pendukung aktivitas utama.

     Dorongan yang kuat terhadap aktivitas ekonomi secara umum juga dapat menarik tenaga kerja dari luar daerah untuk  masuk dalam bentuk migrasi menetap (pindah) dan migrasi temporer (commuter). Meningkatnya migrasi akan meningkatkan kebutuhan akan ruang.

     Meningkatnya kebutuhan akan ruang maka kebutuhan perumahan akan meningkat. Dengan kondisi lahan yang terbatas, kepemilikan lahan juga menjadi terbatas. Sehingga dalam waktu beberapa tahun ke depan, permukiman berkembang sudah harus memikirkan untuk menyediakan perumahan vertikal.

   Keterbatasan lahan yang menjadi isu spesifik permukiman berkembang memberi potensi perluasan kawasan. Sementara, Ketidakmampuan ekonomi dan kurangnya kesadaran akan menjadi faktor pendorong perluasan kawasan permukiman yang tidak diinginkan yang berkonsekuensi degradasi lingkungan dan keselamatan permukiman di masa yang akan datang.

    Hal yang juga menjadi isu permukiman berkembang yaitu peningkatan akan kebutuhan sarana publik. Perkembangan suatu kota identik dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa publik baik yang disediakan oleh swasta maupun pemerintah. Setiap penambahan penduduk dapat diartikan sebagai penambahan kebutuhan barang publik, karena setiap aktivitas masyarakat ditopang oleh infrastruktur seperti kebutuhan akan drainase, air minum, jalan, dan lainnya. 

     Pengembangan permukiman dan infrastruktur suatu kota seyogianya dapat mengakomodasi ekspektasi perkembangan suatu kota dalam waktu jangka panjang. Jika tidak,  fasilitas publik akan mengalami over konsumsi yang selanjutnya mengakibatkan kepadatan konsumsi barang dan jasa publik. Imbas lebih lanjut akan memunculkan kekumuhan permukiman yang berimplikasi multi dimensi yang menurunkan kualitas hidup masyarakat.

     Dan yang menjadi isu yang sering terjadi yaitu kebutuhan lapangan pekerjaan yang semakin tinggi. Daya tarik sebuah permukiman secara alamiah akan membuka kesempatan kerja dengan masuknya investasi. Namun, kesempatan kerja ini akan berjalan baik manakala diikuti dengan penyediaan tenaga kerja yang seimbang sehingga tidak mendistorsi pembangunan. Ada kalanya, peningkatan investasi yang diikuti dengan peningkatan lapangan pekerjaan tidak secepat arus migrasi, khususnya pada kasus negara berkembang dengan jumlah penduduk besar. Dan sebagian besar tenaga kerja tidak terseleksi masuk ke lapangan pekerjaan, kondisi ini akan menciptakan persoalan baru karena mereka akan memilih masuk ke sektor informal dengan tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi. Ada yang gagal dan ada yang berhasil. Jika probabilitas gagal lebih tinggi, maka akan berpotensi menimbulkan masalah-masalah ekonomi dan sosial lainnya seperti pengangguran, kemiskinan baru, hingga masalah kriminalitas yang pada akhirnya menciptakan kekumuhan baru bagi kota. 

Isu – isu Permukiman Maju 
       Permukiman maju dicirikan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, kedisiplinan dan keteraturan. Pada umumnya, isu pada permukiman maju adalah permasalahan ekonomi. Mulai dari kekurangan tenaga kerja, pertumbuhan pendudk yang lambat mengakibatkan kekurangan tenaga kerja. Tenaga kerja yang kurang di permukiman maju mendorong masuknya tenaga kerja migrasi. Hal itu menyebabkan perbedaan budaya antara penduduk pribumi dan orang pendatang, yang berpotensi menimbulkan bentrokan fisik ataupun konflik sosial.

      Adanya  permukiman maju kadang meneybabkan kerusakan alam pada permukiman berkembang. Permukiman berkembang biasanya belum memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga permukiman maju melontarkan isu-isu- kerusakan alam yang terjadi di permukiman berkembang.
     Pada permukiman maju, sering terjadi masalah pendidikan. Resiko sarana pendidikan di era arus informasi dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang membutuhkan sarana pendidikan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. 

     Dampak dari sarana pendidikan berteknologi tinggi akan mengurangi tenaga kerja guru itu sendiri. Akibatnya banyak guru – guru yang akan menganggur. Namun di lain pihak apabila fasilitas tidak terpenuhi atau kurang maka akan menimbulkan hambatan belajar. Hal ini juga akan berdampak pada ekonomi permukiman di masa depan.

     Dampak lain dari sarana pendidikan pada permukiman maju yaitu kurang tersedianya sarana gedung sekolah, karyawan administrative kependidikan serta penanganan siswa yang tidak tertampung di sekolah. Dengan begitu maka biaya yang harus dikeluarkan juga semakin besar.



Sumber :
http://kakung-tuwex.blogspot.com/2012/04/problem-pendidikan-di-negara-maju-dan.html


Rabu, 12 Juni 2013

KONSEP PERANCANGAN KOTA

      Perancangan kota, membicarakan tentang kota, dapat dikatakan kota sebagai artefak. Menurut Benny Poerbantanoe 1999, Kota adalah Arsitektur. Arsitektur yang bukan sekedar gambar (wujud fisik-visual) dari kota yang bisa dilihat saja, melainkan juga sebagai suatu konstruksi. Dan menurut Aldo Rossi, 1980, Konstruksi dari sebuah kota sepanjang waktu.

Fisik dan non fisik mempengaruhi pertumbuhan kota. Hal itu dibedakan menjadi 2, yaitu: 
   - Kekuasaan ekonomi formal vs ekonomi non formal
   - Kekuatan formal pemerintah vs aspirasi masyarakat

     Konsep kota atau tepatnya urban-artefak sebagai representasi rancangan selalu muncul dan diketemukan dalam bentuk-bentuk yang bervariasi dalam segala jaman sebagai respon terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial dan religius.

     Urban design merupakan proses perancangan fisik kota, seni merancang ruang kota yang melibatkan desain bangunan, kelompok bangunan, ruang dan lanskap, dan menetapkan proses yang membuat pembangunan yang berhasil dengan baik.

    Dalam urban design, terdapat beberapa ilmu, yaitu:
  • Arsitektur
  • Arsitektur lanskap
  • Perencanaan kota
  • Geografi
  • Sejarah
  • Sosiologi
  • Psikologi
     Menurut Harry Anthony dalam Antoniades, 1986, perancangan kota adalah pengaturan unsur-unsur fisik lingkungan kota sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi baik, ekonomis untuk dibangun, dan memberi  kenyamanan untuk dilihat dan untuk hidup di dalamnya.

Unsur-unsur kota yang diatur rancang kota:
  • Jalur Transportasi
  • Ruang publik/Public space
  • Kelompok/blok bangunan
  • Landscape/ruang luar

Berikut beberapa contoh hasil perancangan kota:
Skyscrapes of Shinjuku, Tokyo, 2009

Glasglow, Scotland, UK

Skyscrapes of New York City

Gangnam-gu, Seoul, Korea Selatan

Hamburg, German

Kairo

Ankara, Turki

Kuala Lumpur

Jakarta




Referensi : 

      Teori kota PP oleh Fahmyddin, S.T., M.Arch.

Kamis, 06 Juni 2013

DIMENSI FISIK PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KOTA ISLAM

     Melanjutkan pembahasan tentang perencanaan dan perancangan kota Islam yang sebelumnya tentang dimensi sosial, sekarang membahas tentang dimensi fisik penting dalam perencanaan dan perancangan kota Isalam.

     Adapun dimensi fisik yang harus dimiliki dalam perencanaan dan perancangan kota Islam, yaitu:
1. Pusat Perdagangan (Commercial)
    Pusat perdangangan yang dimaksud ini bukan hanya sebagai tempat pertukaran uang tetapi juga sebagai tempat interaksi sosial atau bersilahturahmi. karena memperhatikan hal tersebut, pusat perdagangan harus mudah dijangkau oleh masyarakat dan berada dekat dengan tembat beribadah seperti masjid.

2. Perumahan (Residential)
    - Perumahan yang baik harus saling berdekatan agar dapat mempermudah silahtuhrahmi atau sosialisasi.
    - Penyesuaian lebar jalan  dalam perumahan supaya fungsional seperti dijadikan tempat berinteraksi sosial.
    - Mermperhatikan tata ruang yang fungsional, yaitu publik, semi publik dan privat agar dalam menjalin silahtuhrahmi  antar kelompok atau individu dapat tercapai.
    - Lokasi perumahan tidak jauh dari masjid. Adapun jenis masjid yaitu, Masjid Al-Jami' (masjid yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki), Masjid Al-Jum'ah (mesjid yang dijangkau dengan berkendara), yang terakhir Mushollah (masjid pusat).

3. Pendidikan (Educational)
    Penyediaan sarana dan fasilitas pendidikan yang berada ditengah permukiman agar mudah dijangkau atau diakses.

4. Industri (Industrial)
    Letak lokasi industri tidak mudah diakses oleh masyarakat, yaitu tidak berada di tengah permukiman atau diluar lingkungan perumahan karena dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar.

5. Rumah (House)
    Rumah harus diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan kota Islam agar mampu meciptakan jalinan silahturahmi dan hubungan antar keluarga.